Halaman

Jumat, 01 November 2013

Perbedaan HmI Dahulu dan HmI Masa Kini

Jika tidak segera berbenah dan mencari jati diri dengan menghayati sejarah masa lalu, predikat HMIsebagai “Harapan Masyarakat Indonesia”—sebagaimana ungkapan Jendral Ahmad Yani—akan semakin sulit diwujudkan.
Tampaknya, itulah kegelisahan yang dtelah dirasakan oleh para pelaku sejarah HMI pada masa-masa genting, 1963-1966 yang mengilhami lahirnya buku karya Alfan Alfian ini.Sedikit berbeda dengan buku-buku sebelumnya, seperti Hari-Hari Yang Panjang karangan Sulastomo (Ketum PB HMI 1963-1966), maupun HMI Candradimuka Mahasiswa karya Solichin, buku ini lebih komperhenshif. Alfan mengupayakan titik temu dengan literatur-literatur yang ada sebelumnya dan disertai dengan wawancara para pelaku sejarah HMI pada masa-masa itu.



HMI dulu
Buku ini menjadi penting, sebab, perbedaan yang cukup lebar terjadi, antara peran HMI pada saat itu dengan saat ini. Pertama, secara lebih kongkrit, tujuan HMI pada waktu itu terkonsentrasi pada dua hal, yakni Mempertahakan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi harkat dan martbat rakyat Indoensia serta menyebarkan ajaran agama Islam. Dengan upaya pencapaian yang penuh komitmen, tidak heran, jika pada masa-masa genting itu menyiratkan bahwa HMI sudah terlanjur menjadi milik umat dan bangsa.

Jauh sebelum peristiwa G/30 S, tepatnya pada Kongres Muslimin Indonesia II di Yogjakarta 20-25 Desember 1949, yang dihadiri 185 buah organisasi Islam, HMI disepakati dan diikrarkan sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di kalangan umat Islam Indonesia. (hlm. 58). Ketika mendapatkan ancaman pembubaran dari Bung Karno atas provokasi DN. Aidit,  pimpinan PKI, HMI justru mendapatkan dukungan dari Gerakan Pemuda Islam (Gemuis) yang terbentuknya dipelopori beberapa organisasi pemuda Islam seperti GP Ansor.

Ini merupakan bukti, bahwa HMI pada waktu itu kehadirannya benar-benar dirasakan di masyarakat karena ia sanggup memposisikan diri sebagai organisasi pemuda Islam yang modern sehingga memenuhi studentneeds dan student interest mahasiswa pada waktu itu.

Hal itu tentu tidak lepas dari komitmen HMI sebagai organisasi yang benar-benar menjadi milik umat dan bangsa. Ahmad Tirtosudiro, yang pada masa-masa genting tersebut merupakan jendral yang sekaligus aktivis HMI, pernah mengungkapkan, “...Di atas semua itu, tujuan HMI telah menggariskan tanggungjawab keummatan dan kebangsaan sebagai dua tugas yang saling bergayut. Dan dalam kehiupan antar golongan dan agama di Indonesia, HMI memiliki akar budaya sosial keagamaan yang
 all inclusive serta bebas dari sektarianisme sempit. (hlm.10) 

HMI Kini
Kondisi ini tentu berbeda dengan sekarang dimana, konflik kepentingan, bahkan di internal HMI sendiri pun semakin menguat. Hal itu tersurat dalam buku Perpecahan HMI karya Ali Asghar dan Ali Ridla Pamungkas pada Maret lalu. Belum lagi, konflik antara HMI dengan organisasi mahasiswa ekstra lain sebagai efek dari politik praktik di kampus. Tidak heran, jika kemudian HMI terjebak dalam arus tradisi organisasi mahasiswa yang berorientasi untuk kelompoknya masing-masing. Maka, tujuan HMI yang berubah sejak Kongres ketujuhnya di Solo pada 1966, “Terbinanya insan akaemis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridlai Allah SWT” menjadi terkesan dilupakan.

Kedua, diakui atau tidak, berbeda dengan kondisi pada waktu itu, HMI kini justru terjebak dalam iklim pragmatisme politik di lingkungan parta politik dan birokrasi. Apalagi, pertarungan politik dalam negeri saat ini lebih didominasi oleh konflik kepentingan. Situasi ini sangat berbeda sekali dengan situasi sosial-politik yang pada waktu itu yang lebih didominasi oleh persaingan ideologi. Bahkan, Konflik ideologis pada kisaran tahun 1965-1966 mengerucut menjadi kekuatan kelompok komunis dan anti komunis.

Oleh sebab itu, setajam apapun konflik pada waktu itu, nihil sekali individu yang memanfaatkan organisasi sebagai akses politik untuk kepentingan pragmatis. Kondisi ini berbeda dengan kini, karena sudah terlanjur besar dan menyejarah, bermunculan oknum dan elit politik di HMI yang memanfaatkan “HMI-connection” sebagai tangga menuju kekuasaan secara praktis. Inilah yang setidaknya melemahkan proses penyelenggaraan organisasi yang mengesampingkan aspek perkaderan. Tidak heran, jika kemudian pada 2008 lalu, litbang
 Kompas merilis sebuah analisis berjudul “Kebesaran HMI Yang menggelisahkan”. Kegelisahan itu muncul, ketika akses politik yang begitu besar tidak diimbangi dengan produktivitas perkaderan HMI yang sanggup menjawab persoalan bangsa seperti menekan pragmatisme politik.

Kegelisahan itu tidak akan muncul, jika segenap elit politik HMI kembali kepada titik tekan perkaderan HMI yang disebutkan dalam buku ini, Pertama, Watak kepribaian, yang dilakukan dengan cara memberi pemahaman agama sebagai dasar kesadaran. Kedua, kemampuan ilmiah, yaitu membina seseorang hingga memiliki pengetahuan
 (knowledge), kecerasan (intelectuality), dan kebijaksanaan. Ketiga, keterampilan, yakni kepandaiaan menerjemahkan ide dan pikiran dalam praktik. (hlm.147) 

Sejarah adalah bagian dari pencarian jati diri. Tuhan sendiri mentitahkan bahwa “lihatlah masa lalumu demi masa depanmu”. Dengan demikian, buku ini harusnya menjadi salah satu pijakan penting kader HMI dalam melewati masa-masa sulit belakangan ini. Sehingga, HMI sanggup memosisikan dirinya sebagai organisasi yang nihil dari politik praktis dan mampu menempatkan diri sebagai kader umat dan bangsa yang benar-benar kontributif, bukan klaim atas romantisme masa lalu. Jika tidak, tanpa ancaman pembubaran pun, bisa jadi HMI akan ditelan sejarah dengan sendirinya. Buku ini patut dijadikan refleksi bagi seluruh aktivis HMI.



HAL INI PERLU KITA PERHATIKAN.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar